Akhlak Tasawuf




BAB I
AKHLAK TASAWUF

A.     Kompetensi
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian akhlak dalam konteks tasawuf.
2. Mahasiswa mampu membedakan antara akhlak, etika dan moral.
3. Mahasiswa mampu mengamalkan akhlakul karimah.

B.     Current Issues
Globalisasi telah melanda dunia di mana nilai-nilai yang selama ini mapan mudah berubah akibat tidak ada batas lagi antara ruang dan waktu, sehingga nilai-nilai tersebut  berubah menjadi relatif dan subyektif. Semua yang berkaitan dengan perilaku,  budi pekerti, etika, dan  moral  tidak bisa dikatakan obyektif, karena nilai yang dianggap sebagai landasan perilaku itu sendiri mudah berubah. Hal-hal yang belakangan ini muncul seperti batasan antara pornografi dan pornoaksi dengan  seni sangat tipis, apakah berpakaian ketat dan minim termasuk pornoaksi atau bagian dari pada seni. Ini sangat sulit dibedakan.  Oleh karena nilai-nilai tersebut mudah luntur maka dibutuhkanlah penguatan kembali nilai-nilai yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang disebut akhlak. Akhlak inilah merupakan cermin setiap peribadi apakah ia punya rasa malu, muru’ah, amanah, jujur, adil, lemah lembut, rasa kasih sayang terhadap sesama, dermawan, ikhlas dalam berbuat, suka menolong dan sebagainya. 

C.     Bahan Pembelajaran
1. Pembahasan Akhlak
a.      Pengertian Akhlak
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq (أخلاق) dalam bentuk jama’, sedang mufradnya adalah khuluq (خلق). Selanjutnya makna  akhlak secara etimologis akan dikupas lebih mendalam.
Kata khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fi’il madhi khalaqa yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada mashdar yang digunakan. Ada beberapa kata Arab yang seakar dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain menciptakan sesuatu dari tiada,[1] dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah, sehingga hanya Allahlah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq sebagaimana yang diungkapkan  dalam QS. al-Hasyr ayat 24هو الله الخالق البار ئ المصوّر  dan QS. Yasin ayat 81 yang berbunyi بلى و هو الخلاق العليم . Di samping itu masih ada arti lain yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Mu’minun ayat 14 فتبارك الله أحسن الخالقين diartikan Maha Suci Allah Sang Perekayasa yang terbaik, dan QS. Al-Ankabut ayat 17 yang berbunyi و تخلقون إفكا diartikan …dan kalian mereka-reka bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa ayat 119 فليغيّرنّ خلق الله diartikan …maka mereka benar-benar merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa hukum-hukum-Nya).[2] Ketiga, rusak, misalnya أخلقه الثوب artinya memakaikan pakaian rusak.[3] Arti lain yang hampir mirip dengan al-khaliq adalah kata khalaqa yang artinya bergaul dengan orang lain, seperti ungkapan syair :
وخالق الناس بخلق حسن ÷ لا تكن كلبا على الناس يهرّ
(Artinya : Pergaulilah orang lain dengan pergaulan yang baik, Jangan seperti anjing yang menggonggongi orang). Kemudian kata al-khalaq yang diartikan bagian yang baik, seperti disebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 102 وماله فى الآخرة من خلاق diartikan : Dan tidak ada baginya bagian yang baik di akhirat (nanti).
Arti-arti di atas mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[4] Sehingga dapat dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (hasan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya kata al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-Khaliq yang berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk lainnya. Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak.
Inilah ciri khusus kata akhlak dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut perangai manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara itu dari sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan  Al-Ghazali [5] :
فالخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عن تصدرالأفعال بسهولة ويسرمن غيرحاجة إلى فكر ورؤية، فان كانت الهيئة بحيث تصدرعنها الأفعال الجميلة المحمودة عقلا وشرعا سميت تلك الهيئة خلقا حسنا وإن كان الصادرعنها الأفعال القبيحة سميت تلك الهيئة التى هى المصدر خلقا سيئا
Artinya : Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang terpatri dan meresap dalam jiwa, sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandaianya ada orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut dianggap dermawan sebagai pantulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Ibnu Maskawih memberikan definisi senada mengenai istilah khuluq sebagai berikut :

الخلق حال للنفس داعية لهاإلى أفعالها من غير فكر ورؤية   [6]

Artinya: Khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
Dijelaskan pula oleh Ibnu Maskawaih bahwa keadaan gerak jiwa tersebut meliputi dua hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak, seperti adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad Amin menyatakan:

الخلق عادة الإرادة   [7]

Artinya: Khuluq ialah membiasakan kehendak.
Yang dimaksud dengan ‘adah (عادة) ialah perbuatan yang dilakukan berdasarkan kecenderungan hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan pertimbangan yang rumit; sedangkan yang melakukan dengan iradah (الإرادة) ialah menangnya keinginan untuk melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi yang terakhir ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan secara rinci tentang pembiasaan kehendak. Di mana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti kehendak itu adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia ketahui yang sesuai dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan yang akan datang.[8]
Kembali pada masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang tertanam dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau pembawaan sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani, dermawan dan sebagainya, dan biasanya merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang kadang-kadang sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang perbuatan yang akn dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga sedikit demi sedikit sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Memang harus diakui bahwa manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada yang berwatak baik, berwatak buruk, dan ada pula yang berwatak di antara baik dan buruk. Watak-watak tersebut turut menentulan bentuk akhlak seseorang di samping faktor pembiasaan dan latihan tadi.
Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yakni istilah etika dan moral. Berikut ini akan dikupas pengertian etika dan moral.

1) Etika
Etika, seperti halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah lainnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu, ethos.[9] Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak ta etha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 sM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.[10]
Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat, 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).[11] Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan secara urut beserta contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam arti : nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Budha, etika Islam, Etika Nasrani dan lain-lain. Secara singkat arti ini dapat dirumuskan sebagai sistem nilai. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Misalnya beberapa tahun yang lalu Departemen Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan sebuah kode etik untuk seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi judul “Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI)”. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral.[12] Dalam pengertian ketiga inilah umumnya definisi etika diberikan.
Berikut ini adalah definisi etika dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master Pictorial Encyclopedia dikatakan: ethics is the science of moral philosophy concerned not with fact, but with value; not with the character of, but the ideal of human conduct.[13] Dengan kata lain, etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, melainkan tentang nilai-nilai dan moral berkaitan dengan tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
Sementara itu, dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa Ethics; the study of human behaviour not only to find the trurth of things as they are, but also to enquire into the worth or goodness of human actions. Selanjutnya dirumuskan sebagai berikut the science of human conduct, concerned with judgment of obligation (rightness or wrongess, oughtyness) and judgment of value (goodness and badness).[14] Dengan kata lain, bahwa etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran, kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.
Kedua definisi di atas mengarah pada pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang menjadi topik pembahasan filsafat yang dalam obyeknya mengandalkan rasionalisasi akal pikiran. Sehingga etika sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, maka ukurannya adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, melalui akal orang dapat mementukan nilai baik dan buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena akal menentukannya baik, dan sesuatu dianggapnya buruk karena akal menentukannya buruk. Sehingga akal merupakan sumber dasar etika.[15] Disinilah yang membedakan etika dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak salah bila dirumuskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh mana yang diketahui oleh akal pikiran.[16]
Berdasarkan pengertian di atas, secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua pengertian, yaitu pengertian empiris dan filosofis. Pengertian empiris ini berdasarkan pada penelitian psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan pengaruhnya terhadap orang lain.[17] Dan inilah yang biasa disebut etika praktis yang berhubungan dengan prilaku individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian filosofis ini merupakan hasil kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun buruk, apa yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah untuk menjelaskan norma-norma atau keputusan-keputusan perbuatan manusia tentang nilai-nilai moral,[18] yang sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika dalam filsafat dibatasi sebagai filsafat tentang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi menjawab pertanyaan mengenai bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain tunduk terhadap suatu norma dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika mempunyai sifat dasar kritis, maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma yang berlaku. Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional, untuk membntuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Franz Magnis Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang, serta bagi siapa saja yang tidak rela diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma masyarakat sekarang.[19] Karena etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, maka yang dihasilkannya secara langsung bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dengan demikian sangat jelas, bahwa etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal pikiran dalam menentukan baik dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan istilah moral, yang meskipun obyek dan arti etimologinya sama.

2) Moral
Bila kata etika berasal dari Yunani kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin, yaitu jamak dari mose yang berarti adat kebiasaan.[20] Kedua istilah ini kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang istilah moral dapat disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam suatu masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.[21] Misalnya dikatakan bahwa perbuatan orang tersebut tidak bermoral. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya bila dikatakan orang itu bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya. Sehingga contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu berkonotasi positif.[22] Padahal sebetulnya pengertiannya tidak sesempit itu, karena secara harfiah moral itu diartikan adat kebiasaan manusia dalam berperilaku maka ia bisa berkonotasi positif maupun negatif, bisa baik dan bisa buruk tergantung sifat perbuatan itu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Dictionary of Education, bahwa moral ialah a term used to delimit those characters, traits, intentions, judgments, or acts which can appropriately, be designated as right, wrong, good, bad.[23] Karena moral itu merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral ini lebih terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok ukur yang digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal ini Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.[24]
Senada dengan Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk.[25] Maka untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan, baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.

3)  Perbedaan Akhlak, Etika Dan Moral
Istilah akhlak, etika dan moral sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam percakapan sehari-hari, sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat dimaklumi karena ketiganya mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu dibedakan antara akhlak sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan di atas, dan akhlak sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika sebagai ilmu yang pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu pengertian ilmu filsafat yang cukup mewakili adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan melakukan apa-apa yang harus diperbuat.[26] Pengertian di atas hamper tidak ada bedanya dengan pengertian etika, sehingga kadang-kadang disamakan antara ilmu akhlak dan etika. Namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan. Sedangkan pada etika dan moral yang membedakan adalah pada tolok ukurnya. Jika  dalam etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu.
Inti pengertian di atas adalah harus ada seperangkat nilai yang mengatur manusia untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon banum) yang dalam teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara universal tanpa memandang ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa. Sedangkan dalam akhlak (dalam hal ini adalah akhlak Islam[27]) merupakan seperangkat nilai untuk menentukan baik dan buruk tolok ukurnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi umat Islam al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur segala perilakunya, sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari keduanya. Hal ini tidak berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam pembahasan akhlak atau etika merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan karena suatu perbuatan dapat dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang yang sudah menentukan pilihannya untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri dan tunduk pada kemauan Allah, akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam. Sebaliknya bila seseorang menentukan pilihannya pada yang lainnya, ia akan terikat dengan sistem nilai-nilai lain, karena tak ada konsep bebas yang mutlak kecuali hanya milik Allah yang tak terikat ruang dan waktu.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam dengan al-Qur’an dan al-Hadits  sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berpikirnya. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan alam. Pola hubungan dalam akhlak Islam ini saling berhubungan sehingga orang dapat dikatakan berakhlak mulia apabila ia baik hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.

b.      Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.[28]
Ahmad Azhar Basyir [29] menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam.
Dalam Islam akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak Islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:
1.       Hubungan antara manusia dengan Allah
Seperti akhlak terhadap Tuhan
2.       Hubungan manusia dengan sesamanya
Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a)       Akhlak terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
b)      Akhlak terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
3.       Hubungan manusia dengan lingkungannya
Akhlak terhadap makhluk lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4. Akhlak terhadap diri sendiri

c.      Dasar-Dasar Akhlak
1)      Al-Qur’an

وانك لعلى خلق عظيم

Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia. (QS. Al-Qalam : 4).[30]
Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad karena kemuliaan akhlaknya. Penggunaan istilah khulukunadhim menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad SAW. Banyak Nabi dan rasul yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, Tetapi hanya Muhammad SAW yang mendapatkan pujian sedahsyat itu. dengan lebih tegas Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat ; layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang diteladani sebagai uswah hasanah, melalui firman-Nya:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
Artinya: Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik …. [31]

2)      Al-Hadits
Dalam ayat al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini didukung pula dengan hadits  yang berbunyi :
إنما بعثت لأتمم مكارالأخلاق
Artinya: Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:
كان خلقه القران
Artinya: Substansi akhlak Rasulullah itu adalah al-qur’an.
Dari jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin lewat semua tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan al-qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-qur’an. Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur’an didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

d.      Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di dunia maupun akhirat. Jika  seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah dan mu’amallah ma’annas, insya Allah akan memperoleh rida-Nya. Orang yang mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi.
Seseorang yang berakhlakul karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan tidak pernah menipu apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya dapat hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi, serta dihargai kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya. Ketenteraman hidup orang berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis menghadapi kehidupan ukhrawi lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai dengan ketentuan Allah, sehingga tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman dan kebahagiaan hidup seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan, kepandaian, atau jabatan. Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas apakah ia seorang yang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, memiliki jabatan tinggi, rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya Allah akan dapat memperoleh kebahagiaan.

e.      Urgensi Akhlak
Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi dan menjaring saripati informasi positif.
Dengan otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang muslim akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.
Televisi yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi. Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini membutuhkan terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, maraknya hiburan malam, beredarnya minuman keras dan obat terlarang, munculnya amukan massa merupakan fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
Belum lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan korban-korban generasi muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah, juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait. Upaya menumbuhkan-kembangkan  akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarah-dagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.
Munculnya fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif melalui penanaman  akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin sulit dibendung.
Di dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah:
إن من خيركم أحسنكم خلقا
Artinya:   Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya. (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
البر حسن الخلق
Artinya: Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya. (H.R. Muslim).

f. Kakteristik Akhlak Dalam Ajaran Islam

Islam memiliki dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1)      Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci. Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat (49): 12 yang menunjukkan larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang buruk.
2)      Akhlak bersifat menyeluruh
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
3)      Akhlak sebagai buah iman
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat terdeteksi melalui indikator tidak tertibnya ibadah dan sulit membuahkan akhlakul karimah.
4)      Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak tidak membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.

g.   Akhlak Karimah
Akhlak al-karimah adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia di mata Allah SWT. Akhlak yang terpuji ini merupakan implementasi dari sifat dan prilaku yang baik dalam diri manusia. Akhlak al-karimah dapat dilihat dari sifat, tingkah laku maupun perbutan nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia yang paling spektakuler, sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu 23 tahun Muhammad telah berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia yang sarat kezaliman dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah kehidupan yang sarat nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal sebagai zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa arab telah memiliki kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, tetapi moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia arab di atas puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang akhirnya melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah yang mengorbankan revolusi Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang, meski tidak menyadarkan kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun strategi perang yang jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut lebih banyak ditopang oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang didorong oleh semangat menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan akhlak, Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah. Rasulullah mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Di samping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga dengan akhlak. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan membangun negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan siapapun senantiasa mempraktekkan akhlak al-karimah secara nyata dan konsisten.
Semua orang yang pernah mengenalnya tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan akhlaknya, sekalipun ia seorang yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy membenci Muhammad dan memburunya, adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya yang dipandang “subversif” karena dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah” mereka yakni dewa-dewa dan patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam kehidupan berkeluarga, Muhammad telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah tangga yang tanpa cacat dalam pandangan semua anggota keluarga, masyarakat sekitarnya, bahkan dalam pandangan semua umatnya. Semua gerak langkah, adat kebiasaannya, bahkan keputusan-keputusannya terdokumentasikan dalam sunnah rasul dan diteladani oleh semua umatnya akhir zaman.
Dalam bidang politik Muhammad SAW telah mampu menunjukkan “kelasnya” sebagai politikus terkemuka, semua keputusan dan langkah politiknya mengindikasikan muatan akhlakul karimah. Hal tersebut tercermin melalui kemampuannya untuk meredam konflik antar etnis serta fiksi yang bermuara pada pluralitas, serta penampilannya sebagai sosok demokrat sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi dan potensi ummat.
Melalui telah historis dapat diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad SAW pernah melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan lingkungan dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin, yang berarti orang yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian panjang dalam kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali, bahkan selalu diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak Nabi, yang mencakup sifat, ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang baik (akhlak al-karimah), sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di seluruh dunia. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
Artinya: Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik …. [32]

2. Pembahasan Tasawuf
 a.  Asal_Usul Kata Tasawuf
1)        Kata tasawwuf (التصوف) adalah bahasa Arab dari kata suf (صوف) yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2)        Ahl Al-Suffah (أهل الصفة), yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa salam bahasa Eropa berasal dari kata صفة. Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.
3)        Shafi (صافى) yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
4)        Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
5)        Saf (صف) pertama. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.
Di antara kelima asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak disebut para ahli sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi Masehi dan Yahudi, disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang berasal dari kulit dan bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba yang kasar dan sederhana itu orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya dan menunjukkan kezuhudan pemakainya.

b.      Pengertian Tasawuf
Untuk menyatakan hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya dapat diketahui bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam ucapan, cara dan sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut. Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai dengan pengalaman empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut Ma'ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.[33]
Ahmad al-Jariri ketika ditanya seseorang : Apa itu tasawuf ? Ia menjawab : Masuk ke dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela).[34]
Sementara Abu Ya'qub al-Susi menjelaskan bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.[35]
Definisi-definisi di atas menunjukan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf  ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan Dzu al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang shufi dan mengalahkan segala sesuatu.[36] Dari definisi ini, pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan mahabbat. Shufi adalah orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan segala-galanya.
Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Bustami yang mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha al-Khalqu [37](sifat Allah yang dikenakan oleh hambaNya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid yang terkenal dengan syathahatnya, yaitu : idzhar al-bathin bi al- 'ibrat badalan min al-isyarat [38](mengungkapkan secara lisan akan kondisi bathin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan).
Lebih jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :al-tashawwuf antakuna ma'a Allah bila 'alaqat (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan). Maksudnya, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq dan khaliq, bukan hubungan antara 'abid dan ma'bud. Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri makhluq.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari'ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya : ana Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).
Di sini timbul pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang melanggar syari'ah  sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya.  Alasan al-Hallaj: "apa pun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah … ana al-Haqq, karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah". Nampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan definisi-definisi tasauf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasauf  ini tidak lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara shufi dan Tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.

c.      Sumber Ajaran Tasawuf
 Dalam sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada di dalam al-Qur’an dan hadits.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 menyatakan :
واذا سالك عبادي عنّي فانّي قاريب اجيب دعوة الدّاع اذا دعان[39]
Artinya : Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.
Kata da’a yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.[40]
Ayat 115 dalam QS. Al- Baqarah juga menyatakan :
وللّه المشرق  والمغرب فاينما تولّوا فثمّ وجه اللّه[41]
Artinya : Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling disitu (kamu jumpai) wajah Tuhan.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, dan dapat dijumpai.[42]
Selanjutnya dalam hadits dinyatakan :
من عرف نفسه فقد عرف ربّه
Artinya : Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal pada Tuhan.
Hadits lain yang juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang berbunyi :
كنت كنزا مخفيّا فاحببت ان اعرف فخلفت الخلق فبى عرفونى ÷
Artinya : Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.
Menurut hadist ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.[43]
d.      Tujuan Tasawuf
Sebelum dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih dulu dijelaskan pengertian “fana” dan “ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri supaya ada Menurut ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dengan fana hilanglah sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin), dan kekalnya sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian ma’rifat adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan tasawwuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifat”. Dalam hal ini ahli-ahli tasawwuf berkata:
التّصوّف : فانون عن أنفسهم باقون بربّهم بحضور قلوبهم مع الله

Artinya:   Tasawwuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
Tasawwuf mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi setingkat kepada Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan demikian maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah berada dekat sedekat-dekatnya di hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.
Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang pengertian tasawwuf, Anda perlu mengerjakan latihan di bawah ini. Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan melalui diskusi bersama teman-teman.
   e.   Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
   1)  Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah SWT. Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
a)      Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
b)      Hidup qanaah (menerima apa adanya).
c)      Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d)      Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e)      Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
f)       Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).
Sikap hidup seperti tersebut di atas kemudian diikuti oleh kaum sufi, kemudian menjadi sikap hidup mereka.
Dari perilaku kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya serta asal pokok ajaran tasawwuf di atas, dapat kita artikan bahwa hakikat tasawwuf itu adalah mencari jalan untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani ini memang tidak mudah, biasanya memerlukan suatu proses, bahkan kadang-kadang proses itu cukup panjang.
Seorang sufi yang ternama pada mulanya juga mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang dapat diraba dan dirasakan dengan panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan merasakan sesuatu yang lahir itu berangsur-angsur surut. Maka sirnalah keindahan dunia yang bersifat materi dan mereka mencari kepuasan lain. Mereka menuju alam rohani, yang tidak dapat diraba dengan panca-indera, melainkan hanya dapat dirasakan dengan perasaan halus.
Seseorang tidak dapat memahami dan terjun ke dalam tasawwuf, kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya dari kemegahan dan keindahan duniawi. Peralihan dari ketidakpuasan merasakan nikmatnya keindahan duniawi menuju kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang anak kecil tentang benda-benda yang terdapat pada alam sekelilingnya. Semua yang pertama kali dilihatnya dirasa indah dan hebat. Ketika perkembangan jiwanya meningkat, sehingga apa-apa yang tadinya dipandang indah dan hebat menjadi kecil dan remeh. Mereka meninggalkan benda-benda itu dan mencari benda-benda yang dapat memuaskan dirinya.
Jadi tasawwuf itu pada dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan. Sebagai contoh dikemukakan di sini salah satu sisi kehidupan (pengalaman) salah seorang sufi yang terkemuka, yaitu Ibn Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan keindahan dunia sebagaimana dirasakan oleh manusia lainnya. Ketika berumur 38 tahun, masa peralihan dari masa muda ke masa tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal serta berguru pada seorang alim ulama di Mekkah Gurunya itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita, ditambah pula dengan budi bahasanya yang lembut. Perjumpaan Ibn Arabi dengan anak perempuan gurunya itu sangat mengganggu pikirannya. la ingin selalu dekat dengan orang yang disenanginya itu. Siang dikenang, malam diimpikan. Banyak sudah karangan yang telah ditulisnya, hanya untuk menggambarkan kekaguman dan kecantikan orang yang dicintainya. Demikian indahnya rangkaian kalimat yang diciptakan Ibn Arabi, sehingga dapat menjelaskan kepada kita bahwa besar dan kuatnya rasa cinta terhadap keindahan alam lahir dapat mempengaruhi sikap seseorang. Demikianlah perasaan yang pernah dialami Ibn Arabi. Salah satu kalimat curahan perasaan yang bersifat kesenangan duniawi terungkap dalam perkataannya, “Demikian rupa hatiku terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga yang   kutuju, setiap   nama   yang   kusebut,   narnanyalah   yang   kukehendaki,   sctiap   kampung kampungnyalah juga seakan-akan yang kumasuki.”
Kata-kata Ibn Arabi tersebut menunjukkan bagaimana kcadaan seseorang yang telah tenggelam dalam merasakan nikmat pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati. Jika pengaruh itu tidak segera dibersihkan, maka manusia tidak dapat melepaskan diri dari kecintaannya terhadap dunia yang bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari akan maksud dan tujuannya datang ke Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya semula. Lalu ia berusaha untuk dapat melepaskan diri dari belenggu syahwat yang telah mengikat alam pikirannya. Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita katakan permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir menuju pada kesenangan rohani, yang boleh kita anggap peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian Ibn Arabi beralih dari bumi ke angkasa raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke langit, kepada keindahan bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala. Pandangannya berpindah dari ruang yang sempit ke dunia luar yang lebih luas dan kepada keindahan yang lebih menakjubkan serta mengagumkan. la duduk termenung pada malam hari yang sepi sambil bertopang dagu, melihat dengan asyiknya keindahan bintang-bintang.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui bahwa orang-orang sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi daripada hidup biasa. Kadang-kadang sampai demikian tingginya, sehingga sulit difahami oleh orang biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum dalam Islam, maka yang dipentingkan adalah tujuan dari hukum itu, sehingga sering ijtihad mereka kelihatannya seolah-olah berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqih biasa.
Tasawwuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan aliran-aliran mistik di luar Islam ingin memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (semedi).Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia agar merenungi alam raya ini dan juga diri manusia sendiri. Dengan demikian manusia akan mengingat zat penciptanya. Kekaguman akan keindahan alam, diri manusia, larnbat laun akan tercurah rasa rindu untuk dekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.
Jika hidup kerohanian (hidup sufi) telah merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang, maka tidaklah ia merasa hina dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian bulu domba (suf) yang kasar. la menjadi zuhud (tidak terpikat pada kemewahan dunia, ta’abud (berbakti), qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan ikhlas. Hidup kerohanian semacam ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh Nabi-nabi terdahulu, termasuk Ulul Azmi, yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, dan Nabi Isa as.
Mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap, begitu juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk dimakan sehari-hari saja kadang tidak ada. la tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang empuk, makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu makan sehari-hari?. Aisyah menjawab, “Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, rnaka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar. la bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering berpuasa sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di mesjid. Setelah beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama, sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman bin Affan.
Aisyah menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang.
Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT. Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ماتوسوس به نفسه ونحن أقرب إليه من حبل الوريد[44]
Artinya :     Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia dari pada pembuluh darah yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
Juga firmannya lagi :
وإذا سالك عبادي عنّى فإنّي قريب أجيب دعوة الدّاع إذا دعان[45]
Artinya :     Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai anyaman daun korma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud bertanya, “Rasulullah, apakah tidak bciik kalau aku mencai ikan sebuah bantal untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat terik di bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta benda dikisahkan pula bahwa pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga semua uang emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah, ia memanggil ahli rumahnya untuk segera membagi-bagikan mata uang tersebut kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan dengan mata uang di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu kepada fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
 Abdurahman bin Auf menceiritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang ,dan seekor keledai yang biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusia pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan merenungi alam raya ini dengan segala isinya. la renungi semua itu dengan mata hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan suci, kepribadiannya sangat sempurna. la memang seorang manusia seperti kita, tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan cepat menerima dan merasa apa yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Firman Allah:
وكذالك أوحينا إليك روحا من أمرنا ما كنت تدري ماالكتب ولا الإيمان ولكن جعلنه نورا نّهدي به, من نّشاء من عبادنا وإنّك لتهدي إلى صراط مّستقيم  [46]
Artinya :     Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (AI-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan AI-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hnmba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau benih-benih pcrtama bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa Hira merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan Nabi di Goa Hira mengenai alam. raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk, hanya ada satu dalam ingatannya, yakni Allah SWT.
Menurut para ahli tasawuf, cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari Allah Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. la memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400 orang, lambat laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan mereka sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya hanya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar kaum suffah itulah yang telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehcndaki oleh Allah Taala.”
2)  Zaman Sesudah Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan Islam diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin AfFan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi khalifah atau kepala negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara hidup mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini dikemukakan salah satu sisi dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari keyakinan dan martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih dan kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar, bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman, lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya. Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?” Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan, tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada penyanggah itu, “Jika masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi, biarlah saya yang akan menanggungnya.”Mendengar jawaban Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada khalifah.
Usman bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. la adalah seorang Khalifah yang berada. Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah AI-Qur’an, Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang hamba melalaikan surat dari tuannya. Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh pembertontak ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang dikenakannya telah robek. Ketika pakaiannya robek, ia sendiri yang menambalnya. Pernah orang bertanya, “Mengapa sampai begini, ya Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain dari sahabat Nabi yang empat sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan oleh sahabat-sahabat yang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. la terkenal salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
la menjadi tempat bertanya pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang kepada Huzaifah untuk menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas menentang gaya hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. la melihat bahwa ketulusan beragama sudah mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal yang demikian, bahkan pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya menjadi teladan dengan berani dan terus terang menentang pengumpulan harta benda untuk kepentingan diri sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
والّذين يكنزون الذهب والفضّة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشّّرهم بعذاب أليم[47]

Artinya :     Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berita bukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S At-Taubah : 34)
Sikap Abu Dzar yang demikian, oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu Dzar dituduh telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan semangat perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya, Khalifah Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kota Madinah, ke sebuah dusun bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang dialami Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. la seorang zahid yang betul berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang Khalifah, ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun terkenal kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan membunuh orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan semena-mena itu, Sa’id Zubair sangat kecewa. la tidak takut sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj dan tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa tersinggung. Maka dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia mati membelakangi kiblat. Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku, disanalah wajah Allah.”
       3. Pembahasan Akhlak Tasawuf
Hubungan antara akhlak  dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan sepaerti dua mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang dilakukan kalangan  mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian aklakul karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus shalih.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf falsafi.
Secara singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan takhaluq,[48] membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi dengan akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari (teoritis).
Selama ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan akhlak biasanya  hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai ranah afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak dapat diperoleh hasil semaksimal.


D.    Tugas
Soal-soal :
  1. Jelaskan pengertian akhlak, moral dan etika dan tasawuf.
  2. Jelaskan dasar, tujuan dan ruang lingkup akhlak.
  3. Sejauh mana urgensi akhlak dalam kehidupan umat manusia ?
  4. Sebutkan sumber ajaran tasawuf dan berikan penjelasanya.
  5. Bagaimana latar belakang timbulnya tasawuf ?
  6. Apa yang anda ketahui tentang akhlak tasawuf ?

F. Referensi

Abu al-Baqa’ Ayub Ibn Musa al-Husaini, Al-Kulliyat, Cet. II, Beirut : Mu’assasah, 1993.
Abu al-Fadhal Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid X, Beirut : Dar al-Fikr, 1990.
Abu al-Qasim 'Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairial-Naisaburi, Al-Risalat al-Qasyairiyyat fi ‘ilm al-Tashawwuf, ditahkik oleh ma’ruf Zuraiq dan Ali ‘Abd al-Hamid Balthaji, Dar al-Kairo, t.th.
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma, disunting oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, Mesir : Dar al-Kutub al-Haditsat, 1960.
Abu Raidah, ‘Ilm al-Kalam dalam, Majalah al-Muqbis, Kairo, 5 Januari 1990.
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Mujama’ Khadimal-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fadhn li Thiba’ah al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah Munawwarah, 1971 (1412 H).
Al-Qusyairi, Risalat al-Qusyairiyah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, Cet. III, Kairo : Dar al-Mishriyah, 1929.
A.S Hornby, E V Gaterby, H. Wakefield, The Advanced and Learner’s Dictionary of Current English, London : Oxford University press, 1973.
Carter V. Good (ed.), Dictionary of Education, New York : Mc. Grew Hill Book Co., 1973.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1995.
Faruq ‘Abd al-Mu’thi, Nushus wa Mushthalahat al-Falsafah, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
Franz Von Magnis Suseno, Etika Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1979.
Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Suatu Pengantar), Bandung : CV. Diponegoro, 1983.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta : UI Press, 1979.
Ibn Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq fi al-Tarbiyah, Cet. I, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985.
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, Mesir : Isa Bab al-Halaby, t. th., hal. 52.
K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Lewis Mulford Adams, New Maser Pictorial Encyclopedia, Vol. III, New York : A Subsidiary of Publishers Co Inc., 1965, hal. 460. Bandingkan dengan William Lillie, An Introduction in Ethics, New York : Berners Noble, 1957.
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Cet. XXXIII, Beirut : Dar al-Masyriq, 1986.
Martin Oswald, Nicomachean Ethics, Indiana Polis, New York : The Bobs-Merril Company Inc., 1962.
Maurice B. Mitchell (ed.), Encylopedia of Britanica, Vol. VIII, Chicago : William Benton Publisher, 1968.
Rudlolf Carnap, Ethics dalam Essential Reading in Logical Positivism, Oswald Hanfling (ed.), Oxford : Basil Blackwell, 1981.
Soegadra Purbakawaca, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung, 1976.
Syarif Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.
Zakki Mubarak, Al-akhlaq Ind al-Ghazali, Kairo : Dar al-Kitab al-‘Arabi, t. th.




Tujuan

 
 


[1] Lihat, Abu al-Fadhal Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzhur (selanjutnya disebut Ibnu Manzhur), Lisan al-Arab, Jilid X, Beirut : Dar al-Fikr, 1990, hal. 85. Lihat juga, Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Cet. XXXIII, Beirut : Dar al-Masyriq, 1986, hal. 193. Di dalam pemakaian bahasa Arab kata khalaqa dan ja’ala dibedakan pengertiannya. Arti ja’ala adalah menciptakan sesuatu yang masih berhubungan dan terikat dengan yang lain, atau dengan kata lain menciptakan dari materi yang telah ada. Sementara khalaqa berarti sebaliknya. Lihat Abu al-Baqa’ Ayub Ibn Musa al-Husaini, Al-Kulliyat, Cet. II, Beirut : Mu’assasah, 1993, hal. 429-430.
[2] Ibnu Manzhur, Ibid., hal. 86.
[3] Luwis Ma’luf, Op. Cit., hal. 194.
[4] Ibid., hal. 195. Bandingkan dengan Faruq ‘Abd al-Mu’thi, Nushus wa Mushthalahat al-Falsafah, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993, hal. 319.
[5] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, Mesir : Isa Bab al-Halaby, t. th., hal. 52. Lihat juga, Syarif Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th., hal. 101.
[6] Ibn Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq fi al-Tarbiyah, Cet. I, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, hal. 25.
[7] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, Cet. III, Kairo : Dar al-Mishriyah, 1929, hal. 5-6.
[8] Zakki Mubarak, Al-akhlaq Ind al-Ghazali, Kairo : Dar al-Kitab al-‘Arabi, t. th., hal. 115.
[9] Lihat, Maurice B. Mitchell (ed.), Encylopedia of Britanica, Vol. VIII, Chicago : William Benton Publisher, 1968, hal. 752.
[10] Martin Oswald menyatakan bahwa etika merupakan ilmu praktis yang tujuannya jelas berbeda dengan tujuan ilmu teoritis. Tujuan ilmu-ilmu teoritis adalah mempelajari dan berkontemplasi tentang suatu obyek, sementara tujuan etika adalah untuk bertindak dengan cara tertentu. Jadi yang dicari adalah perbuatan praktis bukan pengetahuan ilmiahnya. Kalau demikan, bagaimana mungkin membahas etika dalam bentuk filsafat yang sudah jelas teoritis ? Disinilah Aristoteles mencoba membahasanya. Lihat Martin Oswald, Nicomachean Ethics, Indiana Polis, New York : The Bobs-Merril Company Inc., 1962, hal. xix.
[11] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka , 1995, hal. 17.
[12] K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994, hal. 6.
[13] Lewis Mulford Adams, New Maser Pictorial Encyclopedia, Vol. III, New York : A Subsidiary of Publishers Co Inc., 1965, hal. 460. Bandingkan dengan William Lillie, An Introduction in Ethics, New York : Berners Noble, 1957, hal. 1-2.
[14] Carter V. Good (ed.), Dictionary of Education, New York : Mc. Grew Hill Book Co., 1973, hal. 219.
[15] Oleh karena itu, pandangan di atas termasuk dalam kategori konsep subyektif. Sedikit berbeda dengan pendapat salah satu aliran teologi Islam yaitu Mu’tazilah, bahwa baik buruk secarta substansial (dzatiyah) memang ada dalam dirinya. Akal hanya bertugas untuk mengetahui baik dan buruk, bukan sebagai alat pengukur, maka pandangan ini masuk dalam konsep obyektif. Bagi Mu’tazilah, Allah menyuruh manusia berbuat baik karena hal itu memang baik, dan Allah melarang berbuat jahat karena hal itu memang buruk. Lihat Abu Raidah, ‘Ilm al-Kalam dalam, Majalah al-Muqbis, Kairo, 5 Januari 1990, hal, 5.
[16] Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Suatu Pengantar), Bandung : CV. Diponegoro, 1983, hal. 1.
[17] Rudlolf Carnap, Ethics dalam Essential Reading in Logical Positivism, Oswald Hanfling (ed.), Oxford : Basil Blackwell, 1981, hal. 205.
[18] Ibid.
[19] Franz Von Magnis Suseno, Etika Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1979, hal. 13-14.
[20] Lihat Mourice B. Mitchel (ed.). Loc. Cit., hal. 973.
[21] Lihat kembali ketiga pengertian etika yang diberikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Op. Cit., hal. 271.
[22] Anggapan moral semacam ini tidaklah salah, karena pengertian moral; secara harfiah berarti : a) Concerning principles of right and wrong, b) Good and Virtiuos, c) Able to understand the difference between right and wrong, d) Teaching or illustrating good behaviour. Lihat, A.S Hornby, E V Gaterby, H. Wakefield, The Advanced and Learner’s Dictionary of Current English, London : Oxford University press, 1973, hal. 634. Dan pengertian di atas lebih mengacu pada point yang ke empat.
[23] Charter V. Good (ed.), Op. Cit., hal. 372.
[24] Hamzah Ya’qub, Op. Cit., hal. 144.
[25] Soegadra Purbakawaca, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung, 1976, hal. 186.
[26] Ahmad amin, Op. Cit., hal. 16.
[27] Penggunaan kata akhlak ini dikhususkan pada akhlak Islam demi memudahkan membedakan antara etika, moral dan akhlak. Di samping itu dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri untuk menggambarkan prilaku manusia selalu menggunakan istilah khuluq/akhlaq dan tidak menggunakan istilah al-‘adat atau al-‘urf, meskipun kedua istilah yang terakhir ini mempunyai arti adapt kebiasaan manusia. Sehingga memang lebih tepat istilah akhlak ini spesifik bagi umat Islam yang landasan ukurannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
[28] Kahar Mansyur, Op. Cit., 1985, hal. 16.
[29] Azhar Basyir, Op. Cit., 1987, hal. 6.
[30] Al-Qur'an dan Terjemahnya, Mujama’ Khadimal-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fadhn li Thiba’ah al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah Munawwarah,1412 H, hal. 105.
[31] Ibid., hal. 415
[32] Ibid., hal 415.

[33] Abu al-Qasim 'Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairial-Naisaburi, Al-Risalat al-Qasyairiyyat fi ‘ilm al-Tashawwuf, ditahkik oleh ma’ruf Zuraiq dan Ali ‘Abd al-hamid balthaji, Dar al-kair, t.th., hal. 280.
[34] Ibid.
[35] Al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad, Op. Cit., hal. 109.
[36] Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma, disunting oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, Mesir : dar al-Kutub al-Haditsat, 1960, hal. 45-46.
[37] Abd al-Rahman Badawi, Op. Cit., hal. 110.
[38] M. Abid al-Jabiri, Op. Cit., hal. 288.
[39] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit. hal. 28.
[40] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta : UI Press, 1979, hal. 72.
[41] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit., hal. 17.
[42] Harun Nasution, Op. Cit., hal. 73.
[43] Ibid., hal. 73.
[44] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit., hal. 519.
[45] Ibid., hal. 28.
[46] Ibid., hal. 489.
[47] Ibid., hal. 192.
[48] Istilah lain yang sering digunakan adalah takhalli, tahalli dan tajali. Arti takhalli adalah mengosongkan jiwa dari segala penyakit hati, tahalli adalah menghiasi jiwa dan perilaku dengan akhlak al-karimah, tajalli adalah merealisasikan sifat-sifat akhlak al-karimah dalam perbuatannya sehari-hati. Lihat Al-Qusyairi, Risalat al-Qusyairiyah, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hal. 22   

Posting Komentar