Akhlak Tasawuf
Label:
Akhlak Tasawuf,
Islamic Studies
BAB I
AKHLAK TASAWUF
A. Kompetensi
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian akhlak dalam konteks tasawuf.
2.
Mahasiswa mampu membedakan antara akhlak, etika dan moral.
3.
Mahasiswa mampu mengamalkan akhlakul karimah.
B. Current Issues
Globalisasi telah melanda dunia di mana nilai-nilai
yang selama ini mapan mudah berubah akibat tidak ada batas lagi antara ruang
dan waktu, sehingga nilai-nilai tersebut
berubah menjadi relatif dan subyektif. Semua yang berkaitan dengan
perilaku, budi pekerti, etika, dan moral
tidak bisa dikatakan obyektif, karena nilai yang dianggap sebagai
landasan perilaku itu sendiri mudah berubah. Hal-hal yang belakangan ini muncul
seperti batasan antara pornografi dan pornoaksi dengan seni sangat tipis, apakah berpakaian ketat
dan minim termasuk pornoaksi atau bagian dari pada seni. Ini sangat sulit
dibedakan. Oleh karena nilai-nilai
tersebut mudah luntur maka dibutuhkanlah penguatan kembali nilai-nilai yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang disebut akhlak. Akhlak inilah
merupakan cermin setiap peribadi apakah ia punya rasa malu, muru’ah, amanah,
jujur, adil, lemah lembut, rasa kasih sayang terhadap sesama, dermawan, ikhlas
dalam berbuat, suka menolong dan sebagainya.
C. Bahan Pembelajaran
1. Pembahasan Akhlak
a.
Pengertian
Akhlak
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq
(أخلاق) dalam bentuk jama’, sedang mufradnya adalah khuluq
(خلق). Selanjutnya makna
akhlak secara etimologis akan dikupas lebih mendalam.
Kata
khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fi’il madhi khalaqa
yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada mashdar yang
digunakan. Ada
beberapa kata Arab yang seakar dengan kata al-khuluq ini dengan
perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna
tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq
artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan
sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain menciptakan
sesuatu dari tiada,[1]
dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah, sehingga hanya Allahlah yang
berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq sebagaimana yang
diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24هو الله الخالق البار ئ المصوّر dan QS. Yasin ayat 81 yang berbunyi بلى و هو الخلاق العليم . Di samping itu masih ada arti lain
yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Mu’minun ayat 14 فتبارك الله أحسن الخالقين diartikan Maha Suci Allah Sang Perekayasa yang terbaik, dan QS.
Al-Ankabut ayat 17 yang berbunyi و تخلقون إفكا
diartikan …dan kalian mereka-reka bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS.
Al-Nisa ayat 119 فليغيّرنّ
خلق الله diartikan …maka mereka
benar-benar merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa hukum-hukum-Nya).[2] Ketiga,
rusak, misalnya أخلقه
الثوب artinya memakaikan pakaian rusak.[3] Arti
lain yang hampir mirip dengan al-khaliq adalah kata khalaqa yang
artinya bergaul dengan orang lain, seperti ungkapan syair :
وخالق الناس بخلق حسن ÷ لا تكن كلبا على الناس يهرّ
(Artinya : Pergaulilah orang lain dengan pergaulan yang baik,
Jangan seperti anjing yang menggonggongi orang). Kemudian kata al-khalaq
yang diartikan bagian yang baik, seperti disebutkan dalam al-Qur’an QS.
Al-Baqarah ayat 102 وماله
فى الآخرة من خلاق diartikan : Dan tidak ada baginya
bagian yang baik di akhirat (nanti).
Arti-arti
di atas mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang
diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[4] Sehingga
dapat dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi
penyesuaian dengan makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu
sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (hasan)
dan buruk (qabih) tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq
itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq
itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu
pada pola hubungan dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang
itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya
kata al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan
al-khalq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-Khaliq
yang berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang
diciptakan. Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk
dan antara makhluk dengan makhluk lainnya. Sehingga pola-pola
hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak.
Inilah
ciri khusus kata akhlak dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut
perangai manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara
itu dari sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan
istilah akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan Al-Ghazali [5] :
فالخلق
عبارة عن هيئة في النفس راسخة عن تصدرالأفعال بسهولة ويسرمن غيرحاجة إلى فكر
ورؤية، فان كانت الهيئة بحيث تصدرعنها الأفعال الجميلة المحمودة عقلا وشرعا سميت
تلك الهيئة خلقا حسنا وإن كان الصادرعنها الأفعال القبيحة سميت تلك الهيئة التى هى
المصدر خلقا سيئا
Artinya : Akhlak adalah suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah
dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu
memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu
disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu
perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian di atas memberikan
pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang
terpatri dan meresap dalam jiwa, sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu
itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandaianya ada orang
yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk dilakukan
(mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut
dianggap dermawan sebagai pantulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan
terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Ibnu Maskawih memberikan
definisi senada mengenai istilah khuluq sebagai berikut :
الخلق حال للنفس داعية لهاإلى أفعالها من غير فكر ورؤية [6]
Artinya: Khuluq ialah keadaan
gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan
pemikiran.
Dijelaskan pula
oleh Ibnu Maskawaih bahwa keadaan gerak jiwa tersebut meliputi dua hal. Yang
pertama, alamiah dan bertolak dari watak, seperti adanya orang yang mudah marah
hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena
suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita
yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau
latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan
dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan
dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak
merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan
jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan
perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar
interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi
pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya tercermin
melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat kebiasaan.
Oleh karena itu secara singkat Ahmad Amin menyatakan:
الخلق عادة الإرادة [7]
Artinya: Khuluq
ialah membiasakan kehendak.
Yang
dimaksud dengan ‘adah (عادة) ialah perbuatan yang dilakukan
berdasarkan kecenderungan hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan
pertimbangan yang rumit; sedangkan yang melakukan dengan iradah (الإرادة) ialah
menangnya keinginan untuk melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk
menetapkan pilihan terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah
sering terjadi pada diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya
tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung
melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi yang terakhir
ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan secara rinci tentang
pembiasaan kehendak. Di mana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti kehendak itu
adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia ketahui yang sesuai
dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan yang akan datang.[8]
Kembali
pada masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang
tertanam dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau
pembawaan sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani,
dermawan dan sebagainya, dan biasanya merupakan hasil pembiasaan atau latihan
yang kadang-kadang sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang
perbuatan yang akn dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga
sedikit demi sedikit sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Memang
harus diakui bahwa manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada
yang berwatak baik, berwatak buruk, dan ada pula yang berwatak di antara baik
dan buruk. Watak-watak tersebut turut menentulan bentuk akhlak seseorang di samping
faktor pembiasaan dan latihan tadi.
Dalam
pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan
akhlak, yakni istilah etika dan moral. Berikut ini akan dikupas pengertian
etika dan moral.
1)
Etika
Etika,
seperti halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah lainnya berasal dari
bahasa Yunani kuno yaitu, ethos.[9] Kata ethos
dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk
jamak ta etha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah yang
menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosuf besar
Yunani, Aristoteles (384-322 sM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.[10]
Jika
dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan
tiga arti: 1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan
masyarakat, 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).[11]
Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan secara urut beserta
contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam arti : nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau masyarakat dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Budha, etika Islam, Etika Nasrani dan
lain-lain. Secara singkat arti ini dapat dirumuskan sebagai sistem nilai.
Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini
adalah kode etik. Misalnya beberapa tahun yang lalu Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
menerbitkan sebuah kode etik untuk seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi judul “Etika
Rumah Sakit Indonesia (ERSI)”. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu
tentang yang baik dan yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau
buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa
disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika disini sama artinya dengan filsafat moral.[12] Dalam
pengertian ketiga inilah umumnya definisi etika diberikan.
Berikut
ini adalah definisi etika dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master
Pictorial Encyclopedia dikatakan: ethics is the science of moral
philosophy concerned not with fact, but with value; not with the character of,
but the ideal of human conduct.[13] Dengan
kata lain, etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta,
melainkan tentang nilai-nilai dan moral berkaitan dengan tindakan manusia,
melainkan tentang idenya.
Sementara
itu, dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa Ethics; the study
of human behaviour not only to find the trurth of things as they are, but also
to enquire into the worth or goodness of human actions. Selanjutnya
dirumuskan sebagai berikut the science of human conduct, concerned with
judgment of obligation (rightness or wrongess, oughtyness) and
judgment of value (goodness and badness).[14] Dengan
kata lain, bahwa etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan
dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran,
kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut
kebaikan maupun keburukan.
Kedua
definisi di atas mengarah pada pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang
menjadi topik pembahasan filsafat yang dalam obyeknya mengandalkan
rasionalisasi akal pikiran. Sehingga etika sebagai salah satu cabang filsafat
yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan
buruk, maka ukurannya adalah akal pikiran. Atau dengan kata lain, melalui akal
orang dapat mementukan nilai baik dan buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena
akal menentukannya baik, dan sesuatu dianggapnya buruk karena akal
menentukannya buruk. Sehingga akal merupakan sumber dasar etika.[15]
Disinilah yang membedakan etika dengan yang lainnya. Dengan demikian tidak
salah bila dirumuskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik
dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh mana
yang diketahui oleh akal pikiran.[16]
Berdasarkan
pengertian di atas, secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua
pengertian, yaitu pengertian empiris dan filosofis. Pengertian empiris ini
berdasarkan pada penelitian psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia
yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan pengaruhnya terhadap orang lain.[17] Dan
inilah yang biasa disebut etika praktis yang berhubungan dengan prilaku
individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian filosofis ini merupakan hasil
kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun buruk, apa yang boleh
dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah untuk menjelaskan
norma-norma atau keputusan-keputusan perbuatan manusia tentang nilai-nilai
moral,[18] yang
sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika dalam filsafat dibatasi sebagai
filsafat tentang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang
baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain tunduk terhadap suatu norma
dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika mempunyai sifat dasar kritis,
maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma yang berlaku. Etika dapat
mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional, untuk
membntuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang
dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab
bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang, serta bagi
siapa saja yang tidak rela diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma
masyarakat sekarang.[19] Karena
etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, maka yang dihasilkannya
secara langsung bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih
mendasar dan kritis.
Dengan
demikian sangat jelas, bahwa etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal
pikiran dalam menentukan baik dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan
istilah moral, yang meskipun obyek dan arti etimologinya sama.
2)
Moral
Bila kata etika berasal dari
Yunani kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin, yaitu jamak dari mose
yang berarti adat kebiasaan.[20] Kedua
istilah ini kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang
istilah moral dapat disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian
nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam suatu masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.[21]
Misalnya dikatakan bahwa perbuatan orang tersebut tidak bermoral. Dengan
demikian yang dimaksudkan adalah perbuatan orang itu dianggap melanggar
nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya bila dikatakan
orang itu bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi nilai-nilai dan
norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya. Sehingga
contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu berkonotasi
positif.[22]
Padahal sebetulnya pengertiannya tidak sesempit itu, karena secara harfiah
moral itu diartikan adat kebiasaan manusia dalam berperilaku maka ia bisa berkonotasi
positif maupun negatif, bisa baik dan bisa buruk tergantung sifat perbuatan
itu.
Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam Dictionary of Education, bahwa moral
ialah a term used to delimit those characters, traits, intentions, judgments,
or acts which can appropriately, be designated as right, wrong, good, bad.[23] Karena
moral itu merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap
aktifitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral
ini lebih terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini
sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok
ukur yang digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam
pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat,
yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal
ini Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan
ide-ide umum tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.[24]
Senada
dengan Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan
bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai
hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan
buruk.[25] Maka
untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari
penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan,
baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang
membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah
etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat
praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum),
sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral
merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.
3) Perbedaan Akhlak, Etika Dan Moral
Istilah
akhlak, etika dan moral sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam
percakapan sehari-hari, sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga
istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat
dimaklumi karena ketiganya mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu
dibedakan antara akhlak sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan di atas, dan
akhlak sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika
sebagai ilmu yang pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu pengertian
ilmu filsafat yang cukup mewakili adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan
bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan
melakukan apa-apa yang harus diperbuat.[26]
Pengertian di atas hamper tidak ada bedanya dengan pengertian etika, sehingga
kadang-kadang disamakan antara ilmu akhlak dan etika. Namun jika diteliti
secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan.
Sedangkan pada etika dan moral yang membedakan adalah pada tolok ukurnya.
Jika dalam etika untuk menentukan nilai
perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam
pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat,
yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu.
Inti
pengertian di atas adalah harus ada seperangkat nilai yang mengatur manusia
untuk berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon
banum) yang dalam teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara
universal tanpa memandang ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa.
Sedangkan dalam akhlak (dalam hal ini adalah akhlak Islam[27])
merupakan seperangkat nilai untuk menentukan baik dan buruk tolok ukurnya
adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi
umat Islam al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur
segala perilakunya, sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari
keduanya. Hal ini tidak berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam
pembahasan akhlak atau etika merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan
karena suatu perbuatan dapat dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang
yang sudah menentukan pilihannya untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri
dan tunduk pada kemauan Allah, akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam.
Sebaliknya bila seseorang menentukan pilihannya pada yang lainnya, ia akan
terikat dengan sistem nilai-nilai lain, karena tak ada konsep bebas yang mutlak
kecuali hanya milik Allah yang tak terikat ruang dan waktu.
Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur
pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah
ajaran Islam dengan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berpikirnya. Pola
sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola hubungan dengan Allah, sesama
manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan alam. Pola hubungan dalam akhlak
Islam ini saling berhubungan sehingga orang dapat dikatakan berakhlak mulia
apabila ia baik hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan
makhluk lainnya.
b. Ruang
Lingkup Akhlak
Dalam
membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang
lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap
penciptaannya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap
keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi
bagaimana seharusnya bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat,
jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.[28]
Ahmad
Azhar Basyir [29]
menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan
yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan
Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga,
akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak
terhadap alam.
Dalam
Islam akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga
menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu
konsep akhlak Islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:
1. Hubungan
antara manusia dengan Allah
Seperti akhlak
terhadap Tuhan
2. Hubungan
manusia dengan sesamanya
Hubungan manusia
dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun
hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a) Akhlak
terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap
isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak
keluarga.
b) Akhlak
terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap
tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak
keluarga.
3. Hubungan
manusia dengan lingkungannya
Akhlak terhadap
makhluk lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan,
dan akhlak terhadap alam sekitar.
4. Akhlak
terhadap diri sendiri
c.
Dasar-Dasar
Akhlak
1)
Al-Qur’an
وانك لعلى خلق عظيم
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad)
adalah orang yang berakhlak sangat mulia. (QS. Al-Qalam : 4).[30]
Pujian
Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad
karena kemuliaan akhlaknya. Penggunaan istilah khulukun ‘adhim
menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah
Muhammad SAW. Banyak Nabi dan rasul yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, Tetapi
hanya Muhammad SAW yang mendapatkan pujian sedahsyat itu. dengan lebih tegas
Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah
sangat ; layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk
dijadikan idola yang diteladani sebagai uswah hasanah, melalui firman-Nya:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
Artinya: Sungguh
bagi kamu pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik …. [31]
2)
Al-Hadits
Dalam ayat
al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh yang
layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri
Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat
diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah
untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena
Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini didukung pula
dengan hadits yang berbunyi :
إنما بعثت لأتمم مكارالأخلاق
Artinya: Sesungguhnya saya ini diutus
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena
akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi
Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia
agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan di sini adalah
bagaimana substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah
bertanya kepada isteri Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih
mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:
كان خلقه القران
Artinya: Substansi
akhlak Rasulullah itu adalah al-qur’an.
Dari
jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin lewat
semua tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan
al-qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-qur’an.
Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur’an
didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
d.
Tujuan Akhlak
Tujuan
akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik
di dunia maupun akhirat. Jika seseorang
dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah dan mu’amallah ma’annas,
insya Allah akan memperoleh rida-Nya. Orang yang mendapat rida Allah niscaya
akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi.
Seseorang
yang berakhlakul karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri
sendiri dan tidak pernah menipu apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti
ini biasanya dapat hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan
banyak relasi, serta dihargai kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya.
Ketenteraman hidup orang berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis
menghadapi kehidupan ukhrawi lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai
dengan ketentuan Allah, sehingga tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir
untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman
dan kebahagiaan hidup seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan,
kepandaian, atau jabatan. Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas
apakah ia seorang yang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah,
memiliki jabatan tinggi, rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya
Allah akan dapat memperoleh kebahagiaan.
e.
Urgensi Akhlak
Saat
ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya
mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern,
melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi
multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi
cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak
untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah
cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik
keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita
harus kaya informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan
tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya
untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara,
sehingga mampu menyaring “ampas negatif” teknologi dan menjaring saripati
informasi positif.
Dengan
otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang muslim akan berpegang
kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar
pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah
akidah yang kokoh, akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah
yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati
Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara
bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih
memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya
dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan”
yang ada.
Televisi
yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan
berbagai tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan
kesenangan. Belum lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang
mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang dipandang tidak
relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh
dan tidak diperlukan lagi. Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan
harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Adanya
fenomena sosial yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini membutuhkan
terapi yang harus dipikirkan bersama. Banyaknya mall, maraknya hiburan malam,
beredarnya minuman keras dan obat terlarang, munculnya amukan massa merupakan fenomena yang harus dicermati
dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat
orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata
rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk
mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi
maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak
untuk menanamkan akhlakul karimah serasa
tidak dapat ditunda lagi.
Belum
lagi munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta
peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkan korban-korban generasi
muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua
terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul karimah, juga diperlukan
tindakan represif dari aparat terkait. Upaya menumbuhkan-kembangkan akhlakul
karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah,
dan masyarakat. Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama
untuk mendarah-dagingkan akhlakul karimah,
terutama di kalangan generasi muda.
Munculnya
fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai
dengan pembakaran pusat pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan
kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya
serangkaian peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya
dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan
pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan
utama.
Urgensi
akhlak semakin terasa jika dikaitkan dengan maraknya aksi perampokan,
penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat
kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut tidak cukup
hanya dilakukan tindakan represif melalui penanaman akhlakul
karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif tidak akan
mampu menyelesaikan masalah, karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh
hilang berganti.
Serangkaian
fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di
tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan
diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena
kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat
komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas
yang semakin sulit dibendung.
Di
dalam menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral
kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras
dengan sabda Rasulullah:
إن
من خيركم أحسنكم خلقا
Artinya: Sesungguhnya
yang paling unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya.
(H.R. Bukhari).
Bahkan
dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
البر حسن الخلق
Artinya: Yang
disebut bagus adalah bagus akhlaknya. (H.R. Muslim).
f. Kakteristik Akhlak Dalam Ajaran Islam
Islam memiliki
dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi
karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1) Akhlak
meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci. Di dalam Al-Qur’an ada
ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan
secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara
umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara
umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar,
dan permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara
terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat (49): 12 yang menunjukkan larangan untuk
saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang buruk.
2) Akhlak
bersifat menyeluruh
Dalam konsep
Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus
kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak
dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan
bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
3) Akhlak
sebagai buah iman
Akhlak memiliki
karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman dapat
diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan
daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh
ibadah yang teratur dan membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat
terdeteksi melalui indikator tidak tertibnya ibadah dan sulit membuahkan akhlakul
karimah.
4) Akhlak
menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak tidak
membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat
sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang
bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa
menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri.
g.
Akhlak Karimah
Akhlak al-karimah adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia di mata Allah
SWT. Akhlak yang terpuji ini merupakan implementasi dari sifat dan prilaku yang
baik dalam diri manusia. Akhlak al-karimah dapat dilihat dari
sifat, tingkah laku maupun perbutan nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW tercatat dalam
tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia yang paling spektakuler,
sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu 23 tahun Muhammad telah
berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia yang sarat kezaliman
dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah kehidupan yang sarat
nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal sebagai zaman jahiliyah
atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa arab telah memiliki
kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, tetapi
moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam waktu yang relatif
singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia arab di atas
puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang akhirnya
melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah yang mengorbankan revolusi
Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang, meski tidak menyadarkan
kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun strategi perang yang
jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut lebih banyak ditopang
oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang didorong oleh semangat
menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan akhlak, Rasulullah telah
memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah. Rasulullah mengajak umat manusia
untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Di samping itu, Rasulullah
menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga dengan akhlak. Dengan
akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan membangun negara. Lebih dari
itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan siapapun senantiasa
mempraktekkan akhlak al-karimah secara nyata dan konsisten.
Semua orang yang pernah mengenalnya
tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan akhlaknya, sekalipun ia seorang
yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy membenci Muhammad dan memburunya,
adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya yang dipandang “subversif” karena
dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah” mereka yakni dewa-dewa dan
patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam kehidupan berkeluarga, Muhammad
telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah tangga yang tanpa cacat dalam
pandangan semua anggota keluarga, masyarakat sekitarnya, bahkan dalam pandangan
semua umatnya. Semua gerak langkah, adat kebiasaannya, bahkan
keputusan-keputusannya terdokumentasikan dalam sunnah rasul dan diteladani oleh
semua umatnya akhir zaman.
Dalam bidang politik Muhammad SAW
telah mampu menunjukkan “kelasnya” sebagai politikus terkemuka, semua keputusan
dan langkah politiknya mengindikasikan muatan akhlakul karimah. Hal tersebut
tercermin melalui kemampuannya untuk meredam konflik antar etnis serta fiksi
yang bermuara pada pluralitas, serta penampilannya sebagai sosok demokrat
sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi dan potensi ummat.
Melalui telah historis dapat
diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa
tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad SAW pernah
melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan lingkungan
dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin, yang berarti orang
yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian panjang dalam
kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali, bahkan selalu
diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak Nabi, yang mencakup sifat,
ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang baik (akhlak al-karimah),
sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di seluruh dunia.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة
Artinya: Sungguh bagi kamu pada
diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik …. [32]
2. Pembahasan Tasawuf
a. Asal_Usul Kata Tasawuf
1)
Kata tasawwuf (التصوف) adalah bahasa Arab dari kata suf (صوف) yang artinya bulu domba. Orang sufi
biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang
kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama
kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi
di Irak (wafat tahun 150H).
2)
Ahl Al-Suffah (أهل
الصفة), yaitu orang-orang
yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan
harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka
tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana
sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa salam bahasa Eropa
berasal dari kata صفة.
Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak
mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan
yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah
sifat-sifat kaum sufi.
3)
Shafi (صافى) yaitu suci. Orang-orang sufi adalah
orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka
lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah
orang-orang yang disucikan.
4)
Sophia, berasal
dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh
orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof.
Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan
ketidakpuasan.
5)
Saf (صف) pertama. Sebagaimana halnya orang yang
shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula
orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat
jamaah mereka mengambil saf yang pertama.
Di
antara kelima asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak
disebut para ahli sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi
Masehi dan Yahudi, disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang
berasal dari kulit dan bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba yang kasar dan sederhana itu
orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya dan menunjukkan kezuhudan
pemakainya.
b.
Pengertian
Tasawuf
Untuk menyatakan
hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan
batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya dapat
diketahui bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam
ucapan, cara dan sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut.
Sekalipun demikian para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai
dengan pengalaman empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut Ma'ruf al-Kurhi, tasawuf adalah
berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada
di tangan manusia.[33]
Ahmad al-Jariri ketika ditanya seseorang
: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab : Masuk ke dalam setiap akhlak yang tinggi
(mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela).[34]
Sementara Abu Ya'qub al-Susi menjelaskan
bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi
pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.[35]
Definisi-definisi di atas menunjukan
betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai
usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak
atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya definisi tasawuf ini
mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan Dzu
al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk
memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang shufi dan mengalahkan
segala sesuatu.[36]
Dari definisi
ini, pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan
mahabbat. Shufi adalah orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan
segala-galanya.
Kemudian definisi tasawuf berkembang
lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Bustami yang mendefinisikan
tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha al-Khalqu [37](sifat Allah yang dikenakan
oleh hambaNya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan definisi dari Abu Yazid
yang terkenal dengan syathahatnya, yaitu : idzhar al-bathin bi al-
'ibrat badalan min al-isyarat [38](mengungkapkan secara lisan
akan kondisi bathin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya
cukup diisyaratkan).
Lebih jauh Imam al-Junaid mendefinisikan
tasawuf sebagai berikut :al-tashawwuf antakuna ma'a Allah bila 'alaqat
(tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan). Maksudnya, seorang shufi
bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq dan khaliq,
bukan hubungan antara 'abid dan ma'bud. Menurut al-Junaid, selagi
masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui
keberadaan diri makhluq.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan
lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum
gantung oleh ulama syari'ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah
menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya : ana Allah…ana
al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).
Di sini timbul pertanyaan: kenapa
al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang melanggar syari'ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal
al-Junaid sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Hallaj: "apa pun yang akan
terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah … ana al-Haqq,
karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya
menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah". Nampaknya, hukuman gantung bukan
hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena
jasad dirinya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan definisi-definisi tasauf
yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid,
dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasauf
ini tidak lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas
masalah hubungan langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada
kemanunggalan antara shufi dan Tuhan.
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang
telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai
sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
c. Sumber Ajaran Tasawuf
Dalam sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan
hadist terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa
Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar dalam mistisisme
ternyata ada di dalam al-Qur’an dan hadits.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 186
menyatakan :
Artinya : Jika
hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.
Kata da’a yang terdapat
dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim
dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil,
dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.[40]
Ayat 115 dalam QS. Al- Baqarah
juga menyatakan :
وللّه المشرق والمغرب فاينما تولّوا فثمّ وجه اللّه[41]
Artinya : Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu
berpaling disitu (kamu jumpai) wajah Tuhan.
Bagi kaum sufi ayat ini
mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, dan dapat dijumpai.[42]
Selanjutnya dalam hadits
dinyatakan :
من
عرف نفسه فقد عرف ربّه
Artinya : Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal pada Tuhan.
Hadits lain yang juga
mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang
berbunyi :
كنت
كنزا مخفيّا فاحببت ان اعرف فخلفت الخلق فبى عرفونى ÷
Artinya : Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui
diri-Ku.
Menurut hadist ini, bahwa
Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi
ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.[43]
d. Tujuan Tasawuf
Sebelum dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih
dulu dijelaskan pengertian “fana” dan “ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis
adalah meniadakan diri supaya ada Menurut ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya
pribadi pada kebaqaan Allah, di mana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa
Ketuhanan. Dengan fana hilanglah sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat
bathin), dan kekalnya sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian
ma’rifat adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan
hati sanubari.
Tujuan tasawwuf adalah “fana” untuk mencapai
“ma’rifat”. Dalam hal ini ahli-ahli tasawwuf berkata:
التّصوّف : فانون عن
أنفسهم باقون بربّهم بحضور قلوبهم مع الله
Artinya: Tasawwuf itu ialah mereka fana dari dirinya
dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
Tasawwuf mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri setingkat
demi setingkat kepada Tuhannya, sehingga ia demikian dekat berada di
hadirat-Nya.
Dengan demikian maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah
berada dekat sedekat-dekatnya di hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan
melihat Tuhannya.
Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang pengertian tasawwuf, Anda
perlu mengerjakan latihan di bawah ini. Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan
melalui diskusi bersama teman-teman.
e. Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1) Zaman Nabi
Meskipun
secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf
akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sebelum
diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa
sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat
kota Mekkah
yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga
untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan
melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material,
nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi
bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah SWT. Akhlak mereka
demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan
sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi
dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara
lain:
a) Hidup zuhud (tidak
mementingkan keduniaan).
b) Hidup qanaah (menerima
apa adanya).
c) Hidup taat (senantiasa
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d) Hidup istiqamah (tetap
beribadah).
e) Hidup mahabbah (sangat
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk
lainnya).
f) Hidup ubudiah
(mengabdikan diri kepada Allah).
Sikap hidup
seperti tersebut di atas kemudian diikuti oleh kaum sufi, kemudian menjadi
sikap hidup mereka.
Dari
perilaku kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya serta asal pokok ajaran
tasawwuf di atas, dapat kita artikan bahwa hakikat tasawwuf itu adalah mencari
jalan untuk memperoleh kesempurnaan hidup rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan
hidup rohani ini memang tidak mudah, biasanya memerlukan suatu proses, bahkan
kadang-kadang proses itu cukup panjang.
Seorang
sufi yang ternama pada mulanya juga mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang
dapat diraba dan dirasakan dengan panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan
merasakan sesuatu yang lahir itu berangsur-angsur surut. Maka sirnalah
keindahan dunia yang bersifat materi dan mereka mencari kepuasan lain. Mereka
menuju alam rohani, yang tidak dapat diraba dengan panca-indera, melainkan
hanya dapat dirasakan dengan perasaan halus.
Seseorang
tidak dapat memahami dan terjun ke dalam tasawwuf, kecuali sesudah roh dan
jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya
dari kemegahan dan keindahan duniawi. Peralihan dari ketidakpuasan merasakan
nikmatnya keindahan duniawi menuju kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang
anak kecil tentang benda-benda yang terdapat pada alam sekelilingnya. Semua
yang pertama kali dilihatnya dirasa indah dan hebat. Ketika perkembangan
jiwanya meningkat, sehingga apa-apa yang tadinya dipandang indah dan hebat
menjadi kecil dan remeh. Mereka meninggalkan benda-benda itu dan mencari
benda-benda yang dapat memuaskan dirinya.
Jadi
tasawwuf itu pada dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu
hal keadaan yang lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan.
Sebagai contoh dikemukakan di sini salah satu sisi kehidupan (pengalaman) salah
seorang sufi yang terkemuka, yaitu Ibn Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan
keindahan dunia sebagaimana dirasakan oleh manusia lainnya. Ketika berumur 38
tahun, masa peralihan dari masa muda ke masa tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal
serta berguru pada seorang alim ulama di Mekkah Gurunya itu mempunyai seorang
anak perempuan yang cantik jelita, ditambah pula dengan budi bahasanya yang
lembut. Perjumpaan Ibn Arabi dengan anak perempuan gurunya itu sangat
mengganggu pikirannya. la ingin selalu dekat dengan orang yang disenanginya
itu. Siang dikenang, malam diimpikan. Banyak sudah karangan yang telah
ditulisnya, hanya untuk menggambarkan kekaguman dan kecantikan orang yang
dicintainya. Demikian indahnya rangkaian kalimat yang diciptakan Ibn Arabi, sehingga
dapat menjelaskan kepada kita bahwa besar dan kuatnya rasa cinta terhadap
keindahan alam lahir dapat mempengaruhi sikap seseorang. Demikianlah perasaan
yang pernah dialami Ibn Arabi. Salah satu kalimat curahan perasaan yang
bersifat kesenangan duniawi terungkap dalam perkataannya, “Demikian rupa hatiku
terpikat olehnya, pikiran dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga yang kutuju, setiap nama
yang kusebut, narnanyalah
yang kukehendaki, sctiap
kampung kampungnyalah juga seakan-akan yang kumasuki.”
Kata-kata Ibn Arabi tersebut menunjukkan
bagaimana kcadaan seseorang yang telah tenggelam dalam merasakan nikmat
pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati. Jika pengaruh itu tidak segera
dibersihkan, maka manusia tidak dapat melepaskan diri dari kecintaannya
terhadap dunia yang bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari akan maksud dan
tujuannya datang ke Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya semula. Lalu ia
berusaha untuk dapat melepaskan diri dari belenggu syahwat yang telah mengikat
alam pikirannya. Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita katakan permulaan
menjauhkan diri dari kesenangan lahir menuju pada kesenangan rohani, yang boleh
kita anggap peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian Ibn Arabi beralih dari bumi ke
angkasa raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke langit, kepada keindahan
bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala. Pandangannya berpindah dari ruang
yang sempit ke dunia luar yang lebih luas dan kepada keindahan yang lebih
menakjubkan serta mengagumkan. la duduk termenung pada malam hari yang sepi
sambil bertopang dagu, melihat dengan asyiknya keindahan bintang-bintang.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui bahwa
orang-orang sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi daripada hidup biasa.
Kadang-kadang sampai demikian tingginya, sehingga sulit difahami oleh orang
biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum dalam Islam, maka yang dipentingkan
adalah tujuan dari hukum itu, sehingga sering ijtihad mereka kelihatannya
seolah-olah berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqih biasa.
Tasawwuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan
aliran-aliran mistik di luar Islam ingin memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi
dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi (semedi).Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia
agar merenungi alam raya ini dan juga diri manusia sendiri. Dengan demikian
manusia akan mengingat zat penciptanya. Kekaguman akan keindahan alam, diri
manusia, larnbat laun akan tercurah rasa rindu untuk dekat kepada Tuhan Yang
Maha Pencipta.
Jika hidup kerohanian (hidup sufi) telah
merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang, maka tidaklah ia merasa hina
dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian bulu domba (suf) yang
kasar. la menjadi zuhud (tidak terpikat pada kemewahan dunia, ta’abud
(berbakti), qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan ikhlas.
Hidup kerohanian semacam ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh
Nabi-nabi terdahulu, termasuk Ulul Azmi, yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as,
Nabi Musa as, dan Nabi Isa as.
Mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw telah
banyak diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari.
Jangankan perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang lezat-lezat,
alat-alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap, begitu juga dalam hal
makanan, makanan yang biasa untuk dimakan sehari-hari saja kadang tidak ada. la
tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang empuk, makanan yang
dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan segelas air
minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah,
seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak
menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu makan
sehari-hari?. Aisyah menjawab, “Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah
korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu
kepada Rasulullah, rnaka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Rasulullah
menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar dan jika
kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan
pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu
Bakar dan Umar. la bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar
masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”.
Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita
pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di sana
ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah
sering berpuasa sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak
sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di
mesjid. Setelah beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan
bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat
dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat
dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang
sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah
tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu
dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama,
sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman
bin Affan.
Aisyah
menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah
makan sampai dua kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti
untuk dimakan tiga orang.
Nabi Muhammad-lah yang pertama
kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya,
menjadikan hidup rohani lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh
ria, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi
berlebihan sehingga melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan
bahwa kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia
mengajak kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan
abadi, yakni dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa,
Allah SWT. Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri
sedekat-dekatnya kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
ولقد
خلقنا الإنسان ونعلم ماتوسوس به نفسه ونحن أقرب إليه من حبل الوريد[44]
Artinya : Tidak Kami
ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami
dekat kepada manusia dari pada pembuluh darah yang ada
di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
Juga
firmannya lagi :
وإذا سالك عبادي عنّى فإنّي قريب
أجيب دعوة الدّاع إذا دعان[45]
Artinya : Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang
memanggil jika Aku dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah
Rasulullah dan didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai anyaman
daun korma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud
bertanya, “Rasulullah, apakah tidak bciik kalau aku mencai ikan sebuah bantal
untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah
laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat
terik di bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi
dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta benda dikisahkan pula bahwa pada suatu
hari pernah diletakkan di hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada
hari itu juga semua uang emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang
tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah bahwa
ketika Nabi sedang sakit dan menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa di
rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah, ia
memanggil ahli rumahnya untuk segera membagi-bagikan mata uang tersebut kepada
fakir miskin. Cerita ini dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa
kalau ia menyimpan uang itu, karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit
Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu,
ia menjawab, bahwa ia segera pergi mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah
Aisyah bertanya mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan
dengan mata uang di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu
kepada fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan
pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia
tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
Abdurahman bin Auf
menceiritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang
ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang ,dan seekor keledai yang
biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah
diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan
Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan
mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusia pun
cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi
Rasul Ketika itu Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa
Hira. Di sana
ia memikirkan dan merenungi alam raya ini dengan segala isinya. la renungi
semua itu dengan mata hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya
menjadi sangat bersih dan suci, kepribadiannya sangat sempurna. la memang
seorang manusia seperti kita, tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan
suci, sehingga ia dapat dengan cepat menerima dan merasa apa yang bersifat
suci. Sungguh layak jika Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Firman Allah:
وكذالك أوحينا إليك روحا من أمرنا ما كنت تدري
ماالكتب ولا الإيمان ولكن جعلنه نورا نّهدي به, من نّشاء من عبادنا وإنّك لتهدي
إلى صراط مّستقيم [46]
Artinya : Dan demikianlah
Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (AI-Qur’an) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu, tetapi kami menjadikan AI-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hnmba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS.
Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy
Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya
pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau benih-benih pcrtama
bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan
Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa Hira
merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan Nabi di
Goa Hira mengenai alam. raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan keagungan
Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan memutuskan
hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk, hanya ada satu dalam
ingatannya, yakni Allah SWT.
Menurut para ahli tasawuf,
cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan
utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan
untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari Allah Semua itu ibarat jalan
adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan
diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul,
Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir,
istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. la memperkuat bathinnya dengan
menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah
menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan
pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti
perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka
itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400 orang, lambat laun
bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak yang
luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan mereka
sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah itu
adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai
harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya hanya
tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian
menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa
aku yakin benar-benar kaum suffah itulah yang telah menempuh jalan yang
dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehcndaki oleh Allah Taala.”
2) Zaman Sesudah Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan
Islam diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin AfFan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi khalifah
atau kepala negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara hidup
mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan
raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini dikemukakan salah
satu sisi dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu
Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap lidahnya sendiri ia
berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula,
“Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu
dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu
diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat
dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari keyakinan dan
martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih
dan kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar,
bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat
khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan
rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia
tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman,
lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya.
Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi
nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami
tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?”
Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan
zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya
mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan,
tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan
mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang
itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada
puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut
pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada penyanggah itu, “Jika
masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi, biarlah saya yang akan
menanggungnya.”Mendengar jawaban
Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan
taat kepada khalifah.
Usman bin
Affan adalah Khalifah yang ketiga. la adalah seorang Khalifah yang berada.
Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana.
Hartanya digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan
agama Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah AI-Qur’an,
Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh Tuhan-Ku. Tidak layak
jika ada seorang hamba melalaikan surat
dari tuannya. Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat
dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh
pembertontak ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam
tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian
yang dikenakannya telah robek. Ketika pakaiannya robek, ia sendiri yang
menambalnya. Pernah orang bertanya, “Mengapa sampai begini, ya Amirul Mukminin?”
Beliau menjawab, “Untuk mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi
orang yang beriman.
Selain dari
sahabat Nabi yang empat sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian juga
dilaksanakan oleh sahabat-sahabat yang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin
Yaman. la terkenal salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
la menjadi
tempat bertanya pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang kepada
Huzaifah untuk menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau
tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas
memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran
Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan
Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas
menentang gaya
hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. la melihat bahwa ketulusan beragama
sudah mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal yang demikian, bahkan
pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya menjadi teladan dengan
berani dan terus terang menentang pengumpulan harta benda untuk kepentingan
diri sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
والّذين يكنزون الذهب والفضّة ولا ينفقونها في سبيل الله
فبشّّرهم بعذاب أليم[47]
Artinya : Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka berita bukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. (Q.S At-Taubah : 34)
Sikap Abu Dzar yang demikian,
oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu Dzar dituduh
telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan semangat
perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya, Khalifah
Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kota
Madinah, ke sebuah dusun bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang dialami
Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang
mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang
terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said
bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. la seorang zahid yang betul
berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang
Khalifah, ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun
terkenal kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan
membunuh orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan
semena-mena itu, Sa’id Zubair sangat kecewa. la tidak takut sedikitpun kepada
keperkasaan Hajjaj dan tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa
tersinggung. Maka dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu
Mashab yang sangat dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan
mukanya ke arah kiblat, biar dia mati membelakangi kiblat. Sa’id menjawab,
“Kemana pun engkau hadapkan mukaku, disanalah wajah Allah.”
3. Pembahasan Akhlak Tasawuf
Hubungan antara akhlak
dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan sepaerti dua mata uang,
karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya
dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf). Sementara
bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia
disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan
pada akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf
masuk ke bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses
pencapaian aklakul karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan
para salafus shalih.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari
kajian akhlak yang hanya berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu
akan jauh untuk dapat memberikan bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang
memiliki akhlak mulia. Dilain pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi
kajian salah satu aspek dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang
berarti mengesampingkan tasawuf falsafi.
Secara singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran
Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan takhaluq,[48] membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi dengan
akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari (teoritis).
Selama ini
terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah menjadikan mahasiswa
berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa
disertai ranah afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa
mendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya.
Sehingga dari penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan
pembelajaran akhlak dapat diperoleh hasil semaksimal.
D. Tugas
Soal-soal
:
- Jelaskan pengertian akhlak, moral dan etika dan tasawuf.
- Jelaskan dasar, tujuan dan ruang lingkup akhlak.
- Sejauh mana urgensi akhlak dalam kehidupan umat manusia ?
- Sebutkan sumber ajaran tasawuf dan berikan penjelasanya.
- Bagaimana latar belakang timbulnya tasawuf ?
- Apa yang anda ketahui tentang akhlak tasawuf ?
F. Referensi
Abu al-Baqa’ Ayub Ibn Musa
al-Husaini, Al-Kulliyat, Cet. II, Beirut
: Mu’assasah, 1993.
Abu al-Fadhal Jamal al-Din
Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jilid X, Beirut : Dar al-Fikr,
1990.
Abu al-Qasim 'Abd al-Karim
bin Hawazan al-Qusyairial-Naisaburi, Al-Risalat al-Qasyairiyyat fi ‘ilm
al-Tashawwuf, ditahkik oleh ma’ruf Zuraiq dan Ali ‘Abd al-Hamid Balthaji,
Dar al-Kairo, t.th.
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi,
Al-Luma, disunting oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi
Surur, Mesir : Dar al-Kutub al-Haditsat, 1960.
Abu Raidah, ‘Ilm al-Kalam dalam,
Majalah al-Muqbis, Kairo, 5 Januari 1990.
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Mujama’ Khadimal-Haramain
asy-Syarifain al-Malik Fadhn li Thiba’ah al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah
Munawwarah, 1971 (1412 H).
Al-Qusyairi, Risalat
al-Qusyairiyah, Jilid 2, Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Ahmad Amin, Kitab
al-Akhlaq, Cet. III, Kairo : Dar al-Mishriyah, 1929.
A.S Hornby, E V Gaterby, H.
Wakefield, The Advanced and Learner’s Dictionary of Current English, London : Oxford
University press, 1973.
Carter V. Good (ed.), Dictionary
of Education, New York
: Mc. Grew Hill Book Co., 1973.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1995.
Faruq ‘Abd al-Mu’thi, Nushus
wa Mushthalahat al-Falsafah, Beirut
: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
Franz Von Magnis Suseno, Etika
Umum, Yogyakarta : Kanisius, 1979.
Hamzah Ya’qub, Etika Islam
(Suatu Pengantar), Bandung
: CV. Diponegoro, 1983.
Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta : UI Press, 1979.
Ibn Maskawih, Tahdzib
al-Akhlaq fi al-Tarbiyah, Cet. I, Beirut
: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985.
Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz III, Mesir : Isa Bab al-Halaby, t. th., hal. 52.
K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1994.
Lewis Mulford Adams, New
Maser Pictorial Encyclopedia, Vol. III, New York : A Subsidiary of Publishers Co
Inc., 1965, hal. 460. Bandingkan dengan William Lillie, An Introduction in
Ethics, New York
: Berners Noble, 1957.
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi
al-Lughah wa al-A’lam, Cet. XXXIII, Beirut
: Dar al-Masyriq, 1986.
Martin Oswald, Nicomachean Ethics, Indiana
Polis, New York
: The Bobs-Merril Company Inc., 1962.
Maurice B. Mitchell (ed.), Encylopedia
of Britanica, Vol. VIII, Chicago : William Benton Publisher, 1968.
Rudlolf Carnap, Ethics dalam
Essential Reading in Logical Positivism, Oswald Hanfling (ed.), Oxford : Basil Blackwell,
1981.
Soegadra Purbakawaca, Ensiklopedi
Pendidikan, Jakarta
: Gunung Agung, 1976.
Syarif Ali Ibn Muhammad
al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Beirut
: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.
Zakki Mubarak, Al-akhlaq Ind
al-Ghazali, Kairo : Dar al-Kitab al-‘Arabi, t. th.
|
[1] Lihat, Abu al-Fadhal
Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzhur (selanjutnya disebut Ibnu
Manzhur), Lisan al-Arab, Jilid X, Beirut
: Dar al-Fikr, 1990, hal. 85. Lihat juga, Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi
al-Lughah wa al-A’lam, Cet. XXXIII, Beirut
: Dar al-Masyriq, 1986, hal. 193. Di dalam pemakaian bahasa Arab kata khalaqa
dan ja’ala dibedakan pengertiannya. Arti ja’ala adalah
menciptakan sesuatu yang masih berhubungan dan terikat dengan yang lain, atau
dengan kata lain menciptakan dari materi yang telah ada. Sementara khalaqa
berarti sebaliknya. Lihat Abu al-Baqa’ Ayub Ibn Musa al-Husaini, Al-Kulliyat,
Cet. II, Beirut
: Mu’assasah, 1993, hal. 429-430.
[4] Ibid., hal. 195. Bandingkan dengan Faruq ‘Abd al-Mu’thi, Nushus
wa Mushthalahat al-Falsafah, Beirut
: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993, hal. 319.
[5] Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz III, Mesir : Isa Bab al-Halaby, t. th., hal. 52. Lihat
juga, Syarif Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Beirut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t. th., hal. 101.
[6] Ibn Maskawih, Tahdzib
al-Akhlaq fi al-Tarbiyah, Cet.
I, Beirut : Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, hal. 25.
[9] Lihat, Maurice B. Mitchell (ed.), Encylopedia of Britanica,
Vol. VIII, Chicago : William Benton Publisher, 1968, hal. 752.
[10] Martin Oswald
menyatakan bahwa etika merupakan ilmu praktis yang tujuannya jelas berbeda
dengan tujuan ilmu teoritis. Tujuan ilmu-ilmu teoritis adalah mempelajari dan
berkontemplasi tentang suatu obyek, sementara tujuan etika adalah untuk
bertindak dengan cara tertentu. Jadi yang dicari adalah perbuatan praktis bukan
pengetahuan ilmiahnya. Kalau demikan, bagaimana mungkin membahas etika dalam
bentuk filsafat yang sudah jelas teoritis ? Disinilah Aristoteles mencoba
membahasanya. Lihat Martin Oswald, Nicomachean Ethics,
Indiana Polis, New York : The Bobs-Merril Company Inc.,
1962, hal. xix.
[11] Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka , 1995, hal. 17.
[13] Lewis Mulford Adams, New
Maser Pictorial Encyclopedia, Vol. III, New York : A Subsidiary of Publishers Co
Inc., 1965, hal. 460. Bandingkan dengan William Lillie, An Introduction in
Ethics, New York
: Berners Noble, 1957, hal. 1-2.
[14] Carter V. Good (ed.), Dictionary
of Education, New York
: Mc. Grew Hill Book Co., 1973, hal. 219.
[15] Oleh karena itu,
pandangan di atas termasuk dalam kategori konsep subyektif. Sedikit berbeda
dengan pendapat salah satu aliran teologi Islam yaitu Mu’tazilah, bahwa baik
buruk secarta substansial (dzatiyah) memang ada dalam dirinya. Akal
hanya bertugas untuk mengetahui baik dan buruk, bukan sebagai alat pengukur, maka
pandangan ini masuk dalam konsep obyektif. Bagi Mu’tazilah, Allah menyuruh
manusia berbuat baik karena hal itu memang baik, dan Allah melarang berbuat
jahat karena hal itu memang buruk. Lihat Abu Raidah, ‘Ilm al-Kalam dalam,
Majalah al-Muqbis, Kairo, 5 Januari 1990, hal, 5.
[17] Rudlolf Carnap, Ethics dalam Essential Reading in Logical
Positivism, Oswald Hanfling (ed.), Oxford
: Basil Blackwell, 1981, hal. 205.
[21] Lihat kembali ketiga pengertian etika yang diberikan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, Op. Cit., hal. 271.
[22] Anggapan moral semacam
ini tidaklah salah, karena pengertian moral; secara harfiah berarti : a)
Concerning principles of right and wrong, b) Good and Virtiuos, c) Able to
understand the difference between right and wrong, d) Teaching or illustrating
good behaviour. Lihat, A.S Hornby, E V Gaterby, H. Wakefield, The
Advanced and Learner’s Dictionary of Current English, London
: Oxford University press, 1973, hal. 634. Dan
pengertian di atas lebih mengacu pada point yang ke empat.
[24] Hamzah Ya’qub, Op. Cit., hal. 144.
[25] Soegadra Purbakawaca, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung,
1976, hal. 186.
[27] Penggunaan kata akhlak ini dikhususkan pada akhlak Islam demi
memudahkan membedakan antara etika, moral dan akhlak. Di samping itu dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri untuk menggambarkan prilaku manusia selalu
menggunakan istilah khuluq/akhlaq dan tidak menggunakan istilah al-‘adat
atau al-‘urf, meskipun kedua istilah yang terakhir ini mempunyai
arti adapt kebiasaan manusia. Sehingga memang lebih tepat istilah akhlak ini
spesifik bagi umat Islam yang landasan ukurannya adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah.
[30] Al-Qur'an dan Terjemahnya, Mujama’ Khadimal-Haramain
asy-Syarifain al-Malik Fadhn li Thiba’ah al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah Munawwarah,1412
H, hal. 105.
[32] Ibid., hal 415.
[33]
Abu al-Qasim 'Abd al-Karim bin
Hawazan al-Qusyairial-Naisaburi, Al-Risalat al-Qasyairiyyat fi ‘ilm
al-Tashawwuf, ditahkik oleh ma’ruf Zuraiq dan Ali ‘Abd al-hamid balthaji,
Dar al-kair, t.th., hal. 280.
[36]
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma,
disunting oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, Mesir : dar
al-Kutub al-Haditsat, 1960, hal. 45-46.
[39] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit. hal. 28.
[40] Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta : UI Press, 1979, hal. 72.
[42] Harun Nasution, Op. Cit., hal. 73.
[46] Ibid., hal. 489.
[48] Istilah lain yang sering digunakan adalah takhalli, tahalli
dan tajali. Arti takhalli adalah mengosongkan jiwa dari segala
penyakit hati, tahalli adalah menghiasi jiwa dan perilaku dengan akhlak
al-karimah, tajalli adalah merealisasikan sifat-sifat akhlak al-karimah
dalam perbuatannya sehari-hati. Lihat Al-Qusyairi, Risalat al-Qusyairiyah,
Jilid 2, Beirut:
Dar al-Fikr, t.th., hal. 22
Posting Komentar